Quantcast
Channel: My Verandah
Viewing all articles
Browse latest Browse all 692

Jelita Sejuba, Keindahan Natuna dan Kerinduan Kampung Halaman

$
0
0

Tiga hari diputar di satu satunya bioskop di Tanjungpinang, film Jelita Sejuba mendapat sambutan luar biasa dari warga kota ini.

Saya tidak tahu pasti apakah film ini diputar karena setelah melalui perjuangan dan desakan dari netizen kota ini di sejumlah sosial media, sebab film ini tidak tayang perdana pada 5 April di bioskop Tanjungpinang, akhirnya tayang pada Minggu 8 April 2018.

Tak ayal bioskop langsung penuh dan ada yang rela duduk di bagian paling depan, meski leher pegel.


Hari kedua juga sama, banyak yang kecewa karena kehabisan tiket. Sehingga hari ketiga pihak bioskop menambah jam tayang hingga 3 jam. Yang semula hanya pada jam 3 dan 5 sore, kemarin ditambah pada jam 1 siang, 7 malam dan 9.30 malam.

Saya yang kehabisan tiket di hari kedua, langsung book tiket online kemarin pagi. Alhamdulillah masih sepi. Namun sore hari sudah full dan hanya tersisa 4-5 kursi yang tersebar di beberapa titik.

Dari posternya semua sudah tahu film ini mengisahkan tentang tentara tepatnya kisah istri tentara yang harus berjuang lahir batin menunggu suami bertugas.

Namun bagi warga Kepri dan Tanjungpinang khususnya, sisi emosional lebih menonjol untuk menonton film ini. Ya, film ini syuting di Natuna, salah satu kabupaten di Provinsi Kepri yang terkenal indah alamnya khususnya laut dan pantai.

Memang film ini tidak mengeksplore Pulau Natuna secara luas, tapi hanya salah satu sisinya Kampung Sejuba. Tapi keindahannya memukau mata penonton termasuk saya yang belum pernah ke Natuna.

Miris ya, masa berada dalam satu provinsi tapi belum pernah berkunjung, malah kota di provinsi lain dan luar negeri sudah dikunjungi.

Semua ada alasannya. Natuna sebagai kabupaten paling ujung bahkan sebagai daerah perbatasan terluar, pulau ini disebut sebagai gerbang utara Indonesia.

Akses ke pulau ini memang belum segampang ke daerah lain. Dulu akses ke pulau hanya menggunakan kapal dan beberapa tahun terakhir ada pesawat terbang dari Batam, namun ongkos lumayan serta jadwal yang terbatas. Tak mengherankan masyarakat Natuna yang hijrah ke Kota Tanjungpinang khususnya jarang balik ke sana atau malah ada yang menetap hingga beranak cucu.

Tak mengherankan malam tadi, di dalam bioskop ada nenek nenek dan kakek yang menonton film ini. Mungkin mereka ikut menyaksikan film itu sebagai bentuk  melampiaskan kerinduan melihat kampung halaman yang sudah lama ditinggalkan.

Film ini menurut saya bisa sedikit mengobati kerinduan mereka karena selain keindahan alam, juga suasana pelabuhan, kampung nelayan, makanan khas, tarian, nyanyian, kerajinan tangan serta bahasa khas Melayu Natuna yang memang agak kurang fasif dibawakan oleh pemeran utama Putri Marino dan Wafda.

Untuk anak, remaja dan generasi keturunan dari Natuna yang lahir serta besar di Tanjungpinang atau kota lain dan belum pernah ke sana, film ini bisa sebagai motivasi untuk mengunjungi Natuna.

Saya sendiri yang tak ada hubungan dengan Natuna, sangat tertarik dan ingin berkunjung ke sana. Semoga diberikan kemudahan waktu, kesehatan dan rezeki.

Saya berpikir, penonton di daerah lain seluruh Indonesia mungkin juga tertarik dengan keindahan Natuna. Bagi petualang seperti backpacker dan traveller sejati, tentu masalah biaya dan jarak bukan halangan.

Semoga dengan dieksplornya keindahan Natuna di film ini ke seluruh Indonesia, makin banyak wisatawan tertarik berkunjung. Jika tingkat kunjungan wisatawan naik tentu pemerintah akan berpikir dan membuka kemudahan akses ke pulau ini. Mungkin dengan memberikan subsidi tarif pesawat dan menambah jadwal terbang.

Kalian yang berada di luar Kepri sudah nonton film ini ? Kalau belum cuss ke bioskop dan saksikan salah satu sudut di Kepri yang indah. Biar kalian makin percaya, sorga Indonesia juga banyak di Kepri.









Viewing all articles
Browse latest Browse all 692